100 Hari Pemerintahan Jokowi

Bergerak  di Tengah Ketidakpastian
(Sebuah Tinjauan Ekonomi 100 hari Pemerintahan Jokowi)
Oleh Alfi Syahrin ESP 2012



            Tepat  akhir bulan Januari yang lalu Pemerintahan Presiden Jokowi telah memasuki hari keseratus. Memang seratus hari bukanlah waktu yang lama dibandingkan jangka waktu periode kabinet kerja yang mencapai lima tahun. Akan tetapi telah banyak peristiwa dan dobrakan yang dilakukan adminitrasi pemerintah serta legistlatif terutama dalam bidang ekonomi serta pembangungan kesejahteraan walau memang seratus hari kerja pemerintah tidak dikatakan menggambarkan progres ekonomi. Namun, hal ini dapat menjadi acuan serta indikator yang dapat digunakan untuk memutuskan kebijakan ekonomi nasional kedepan, khususnya lima tahun kedepan.
            Secara umum, kondisi Ekonomi Indonesia dalam masa seratus hari ini masih mengalami perlambatan akibat kondisi ekonomi global yang melesu. Menurut data statistik dari BPS, neraca perdagangan akhir bulan Desember mengalami surplus sebesar 190 miliar dolar amerika. Walaupun secara kumulatif ditambah dengan bulan-bulan sebelum kepresidenan yang baru, neraca tahunan mengalami defisit 1,89 miliar dolar amerika akibat nilai ekspor yang sempat menurun akibat pemberlakuan moratorium ekspor bahan tambang mentah. Indonesia juga mengalami kenaikan tingkat pertumbuhan sebesar 2.47 persen GDP dibandingkan sebelum periode administrasi Jokowi.
             Disisi lain di akhir masa seratus hari, nilai tukar rupiah sempat megalami tekanan sehingga rupiah terdepresiasi dalam kisaran 12.500 rupiah per dolar AS. Hal tersebut didorong oleh dua faktor utama, menguatnya nilai dolar Amerika akibat penurunan harga minyak dunia serta kebijakan Bank Indonesia yang memperlemah nilai rupiah sehingga nilai impor demi menjaga cadangan devisa serta mengurangi permintaan impor komoditas dari dalam negeri. Sehingga pada akhirnya ikut menaikan nilai neraca perdagangan. Memang walaupun keadaan ekonomi nasional agak sedikit melesu,ibarat kapal dengan jangkar yang kuat ketika badai. Bila dibandingkan keadaan ekonomi dunia yang penuh gejolak, Indonesia masih tetap stabil.
            Selain itu disisi kebijakan publik, yang menjadi dobrakan tentunya adalah kebijakan pencabut-alihan subsidi bahan bakar minyak.  Dengan kebijakan tersebut bahan bakar bersubsidi yaitu premium akhirnya mengikuti mekanisme harga yang dibentuk mekanisme harga. Kebijakan tersebut walaupun menimbulkan pro dan kontra akibat nilai populisnya, tetaplah patut diapresiasi karena tak hanya memberikan keringanan akan beban fiskal yang menghinggapi negara sehingga kondisi fiskal lebih sehat dan menghemat anggaran sebesar 227.8 triliun rupiah. Selain juga memberikan  dorongan bagi administrasi Jokowi untuk mengalokasikan subsidi ke hal yang lebih esensial serta tepat sasaran seperti kesehatan dan pendidikan serta pembangunan Infrastruktur.
            Walaupun begitu dikutip dari data BI kebijakan pengalihan BBM memang sempat menimbulkan gejolak inflasi sebesar 8 % pada bulan desember 2014 (yang juga didorong oleh naiknya konsumsi masyarakat akibat natal dan tahun baru). Akan tetapi kembali stabil di akhir Januari dengan tingkat inflasi 6,9 persen didorong oleh menurunnya  harga BBM akibat harga minyak dunia yang terus menurun.
            Untuk mengompensasi efek gejolak ekonomi tersebut. Pemerintahan Jokowi kemudian meluncurkan jaring pengaman sosial baru berupa "Kartu Indonesia Sehat" dan "Kartu Indonesia Pintar". Selain itu progam tersebut diluncurkan sebagai bagian dari komitmen pemerintah untuk menjalankan UU Jaminan Sosial. Hal tersebut sangatlah penting, selain untuk memenuhi kewajiban negara, jaminan sosial juga dapat memberikan perlindungan ekonomi kepada masyarakat rentan miskin maupun miskin.
            Kemudian kebijakan lain yang menjadi landmark seratus hari kerja Pemerintahan Jokowi adalah inisiasi reformasi birokrasi. Untuk pertama kalinya,kini Indonesia mempunyai pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagai langkah pertama untuk mengatasi keruwetan perizinan untuk investasi. Diharapkan dengan dibentuknya badan ini mampu memangkas waktu dan biaya investasi serta mendorong pertambahan Foreign Direct Investment di Indonesia terutama dibidang infrastruktur serta industri dan ikut juga mempolopori reformasi dibidang birokrasi lainnya.
            Namun disisi lain, selain perkembangan-perkembangan tersebut, masih ada hambatan-hambatan yang terjadi selama seratus hari pertama dan berlaku kedepan. Secara makro ekonomi, impor yang masih tinggi membuat ekonomi sangat rentan akan likuiditas eksternal. Apabila kondisi ekonomi global limbung, kondisi ekonomi pun ikut "tertinju". Lesunya ekonomi global masih akan menghantui kegiatan ekspor-impor nasional. Apabila tingkat konsumptif nasional masih tinggi, defisit perdagangan akan tetap menjadi momok bagi pembangunan nasional. Apalagi adanya MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) yang berlaku tahun ini jelas meningkatkan arus kapital dan barang asing yang masuk ke pasar domestik. Oleh karena itu perlu ada kebijakan sinergis antara Bank Sentral serta Pemerintah demi mempersiapkan jangkar dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi kedepan.
Pemberlakuan program jaringan keamanan sosial juga terhambatan akibat birokrasi yang masih ruwet, tumpang tindih pengaturan antar lembaga, proses pembayaran ke pihak penyelenggara (rumah sakit dan sekolah) yang tersendat maupun nilai pelayanan yang belum memuaskan. Efeknya dapat mempengaruhi kesejahteraan masyarakat tidak mampu, apalagi dengan harga BBM dunia yang sewaktu-waktu kembali naik, Pemerintah harus segera "mendobrak" regulasi dan birokrasi sehingga menjamin agar kesejahteraan masyarakat tetap terjaga.
            Tentu hal-hal yang telah dilakukan selama seratus hari tersebut bukanlah kesimpulan mengenai pembawaan program kerja yang dilakukan administrasi Jokowi. Menjadi hal yang bias serta sesat nalar apabila langsung membandingkan hasil seratus hari ini dengan apa yang akan terjadi selama lima tahun. Oleh karena itu, rencana serta kebijakan pembangunan ekonomi negara kedepan haruslah merefleksikan apa yang telah terjadi dalam seratus hari tersebut, kemudian harus menerapkannya secara koheren dan dan sesuai dengan keadaan sosial tanpa mereduksi masalah-masalah tersebut menjadi hanya retorika tanpa aksi belaka.



Categories:

One Response so far.

  1. This comment has been removed by the author.

Leave a Reply