100 Hari Pemerintahan Jokowi
Bergerak di Tengah
Ketidakpastian
(Sebuah Tinjauan Ekonomi 100 hari Pemerintahan Jokowi)
Tepat akhir bulan Januari yang lalu Pemerintahan
Presiden Jokowi telah memasuki hari keseratus. Memang seratus hari bukanlah
waktu yang lama dibandingkan jangka waktu periode kabinet kerja yang mencapai
lima tahun. Akan tetapi telah banyak peristiwa dan dobrakan yang dilakukan
adminitrasi pemerintah serta legistlatif terutama dalam bidang ekonomi serta
pembangungan kesejahteraan walau memang seratus hari kerja pemerintah tidak
dikatakan menggambarkan progres ekonomi. Namun, hal ini dapat menjadi acuan
serta indikator yang dapat digunakan untuk memutuskan kebijakan ekonomi
nasional kedepan, khususnya lima tahun kedepan.
Secara
umum, kondisi Ekonomi Indonesia dalam masa seratus hari ini masih mengalami
perlambatan akibat kondisi ekonomi global yang melesu. Menurut data statistik
dari BPS, neraca perdagangan akhir bulan Desember mengalami surplus sebesar 190
miliar dolar amerika. Walaupun secara kumulatif ditambah dengan bulan-bulan sebelum
kepresidenan yang baru, neraca tahunan mengalami defisit 1,89 miliar dolar
amerika akibat nilai ekspor yang sempat menurun akibat pemberlakuan moratorium
ekspor bahan tambang mentah. Indonesia juga mengalami kenaikan tingkat
pertumbuhan sebesar 2.47 persen GDP dibandingkan sebelum periode administrasi
Jokowi.
Disisi lain di akhir masa seratus hari, nilai
tukar rupiah sempat megalami tekanan sehingga rupiah terdepresiasi dalam
kisaran 12.500 rupiah per dolar AS. Hal tersebut didorong oleh dua faktor
utama, menguatnya nilai dolar Amerika akibat penurunan harga minyak dunia serta
kebijakan Bank Indonesia yang memperlemah nilai rupiah sehingga nilai impor
demi menjaga cadangan devisa serta mengurangi permintaan impor komoditas dari
dalam negeri. Sehingga pada akhirnya ikut menaikan nilai neraca perdagangan.
Memang walaupun keadaan ekonomi nasional agak sedikit melesu,ibarat kapal
dengan jangkar yang kuat ketika badai. Bila dibandingkan keadaan ekonomi dunia
yang penuh gejolak, Indonesia masih tetap stabil.
Selain
itu disisi kebijakan publik, yang menjadi dobrakan tentunya adalah kebijakan
pencabut-alihan subsidi bahan bakar minyak.
Dengan kebijakan tersebut bahan bakar bersubsidi yaitu premium akhirnya
mengikuti mekanisme harga yang dibentuk mekanisme harga. Kebijakan tersebut
walaupun menimbulkan pro dan kontra akibat nilai populisnya, tetaplah patut
diapresiasi karena tak hanya memberikan keringanan akan beban fiskal yang
menghinggapi negara sehingga kondisi fiskal lebih sehat dan menghemat anggaran
sebesar 227.8 triliun rupiah. Selain juga memberikan dorongan bagi administrasi Jokowi untuk
mengalokasikan subsidi ke hal yang lebih esensial serta tepat sasaran seperti
kesehatan dan pendidikan serta pembangunan Infrastruktur.
Walaupun
begitu dikutip dari data BI kebijakan pengalihan BBM memang sempat menimbulkan
gejolak inflasi sebesar 8 % pada bulan desember 2014 (yang juga didorong oleh
naiknya konsumsi masyarakat akibat natal dan tahun baru). Akan tetapi kembali
stabil di akhir Januari dengan tingkat inflasi 6,9 persen didorong oleh menurunnya harga BBM akibat harga minyak dunia yang
terus menurun.
Untuk
mengompensasi efek gejolak ekonomi tersebut. Pemerintahan Jokowi kemudian
meluncurkan jaring pengaman sosial baru berupa "Kartu Indonesia Sehat"
dan "Kartu Indonesia Pintar". Selain itu progam tersebut diluncurkan
sebagai bagian dari komitmen pemerintah untuk menjalankan UU Jaminan Sosial.
Hal tersebut sangatlah penting, selain untuk memenuhi kewajiban negara, jaminan
sosial juga dapat memberikan perlindungan ekonomi kepada masyarakat rentan
miskin maupun miskin.
Kemudian
kebijakan lain yang menjadi landmark seratus hari kerja Pemerintahan
Jokowi adalah inisiasi reformasi birokrasi. Untuk pertama kalinya,kini
Indonesia mempunyai pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) melalui Badan
Koordinasi Penanaman Modal sebagai langkah pertama untuk mengatasi keruwetan
perizinan untuk investasi. Diharapkan dengan dibentuknya badan ini mampu
memangkas waktu dan biaya investasi serta mendorong pertambahan Foreign
Direct Investment di Indonesia terutama dibidang infrastruktur serta
industri dan ikut juga mempolopori reformasi dibidang birokrasi lainnya.
Namun
disisi lain, selain perkembangan-perkembangan tersebut, masih ada
hambatan-hambatan yang terjadi selama seratus hari pertama dan berlaku kedepan.
Secara makro ekonomi, impor yang masih tinggi membuat ekonomi sangat rentan akan
likuiditas eksternal. Apabila kondisi ekonomi global limbung, kondisi ekonomi
pun ikut "tertinju". Lesunya ekonomi global masih akan menghantui
kegiatan ekspor-impor nasional. Apabila tingkat konsumptif nasional masih
tinggi, defisit perdagangan akan tetap menjadi momok bagi pembangunan nasional.
Apalagi adanya MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) yang berlaku tahun ini jelas
meningkatkan arus kapital dan barang asing yang masuk ke pasar domestik. Oleh
karena itu perlu ada kebijakan sinergis antara Bank Sentral serta Pemerintah
demi mempersiapkan jangkar dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi kedepan.
Pemberlakuan program jaringan keamanan sosial juga
terhambatan akibat birokrasi yang masih ruwet, tumpang tindih pengaturan antar
lembaga, proses pembayaran ke pihak penyelenggara (rumah sakit dan sekolah)
yang tersendat maupun nilai pelayanan yang belum memuaskan. Efeknya dapat
mempengaruhi kesejahteraan masyarakat tidak mampu, apalagi dengan harga BBM
dunia yang sewaktu-waktu kembali naik, Pemerintah harus segera
"mendobrak" regulasi dan birokrasi sehingga menjamin agar
kesejahteraan masyarakat tetap terjaga.
Tentu
hal-hal yang telah dilakukan selama seratus hari tersebut bukanlah kesimpulan
mengenai pembawaan program kerja yang dilakukan administrasi Jokowi. Menjadi
hal yang bias serta sesat nalar apabila langsung membandingkan hasil seratus
hari ini dengan apa yang akan terjadi selama lima tahun. Oleh karena itu, rencana
serta kebijakan pembangunan ekonomi negara kedepan haruslah merefleksikan apa
yang telah terjadi dalam seratus hari tersebut, kemudian harus menerapkannya
secara koheren dan dan sesuai dengan keadaan sosial tanpa mereduksi
masalah-masalah tersebut menjadi hanya retorika tanpa aksi belaka.


One Response so far.